Powered By Blogger

Apa kabara' ?

"Banyak Jalan Menuju Tuhan Sebanyak Nafas Para Pencarinya Tetapi Jalan Yang Paling Dekat Ke Tuhan Yaitu Menyayangi Sesama Manusia"

Karaeng Bombong

Karaeng Bombong

Jumat, November 28, 2008

Neo-Liberalisme

“Neo-liberalisme” adalah satu paket ekonomi-politik yang telah berkembang pesat selama sekitar 25 tahun ini. Sekalipun kata ini jarang terdengar di Amerika Serikat, dapat kita lihat dengan jelas akibat-akibatnya di sini: "yang kaya bertambah kaya, yang miskin semakin miskin".


Liberalisme dapat merujuk pada ide-ide politik, ekonomi, bahkan religius. Di Amerika Serikat sendiri, liberalisme politik telah menjadi strategi untuk mencegah konflik sosial. Liberalisme disajikan pada kaum miskin dan kelas pekerja sebagai aliran yang “progresif” –dibandingkan dengan kaum konservatif atau sayap kanan. Liberalisme ekonomi sangat berbeda. Politikus konservatif yang mengatakan kebenciannya pada kaum liberal (dalam pengertian politik), ternyata tidak memiliki keberatan apapun terhadap liberalisme ekonomi. Termasuk neo-liberalisme.
“Neo” berarti kita sedang berbicara tentang satu jenis liberalisme yang baru. Lalu, bagaimana jenis liberalisme yang “lama”? Aliran perekonomian liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith, seorang ahli ekonomi Ingggris, menerbitkan satu buku di tahun 1776 berjudul “The Wealth of Nations”. Dia dan kawan-kawannya menganjurkan penghapusan campur-tangan pemerintah dalam bidang ekonomi. Tidak ada pembatasan produksi, tidak ada halangan dalam perdagangan, tidak ada tarif cukai. Ia menyatakan, “Perdagangan bebas adalah cara terbaik untuk pertumbuhan ekonomi satu negeri.” Ide-ide tersebut terbilang ”liberal” dalam arti “tidak ada kontrol”. Penerapan indivualisme ini mendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan “bebas”, persaingan “bebas” –yang bermuara pada pengertian: kebebasan bagi kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan sebesar yang mereka suka.
Perekonomian liberal berjaya di Amerika Serikat sepanjang abad ke-18 dan awal abad ke-19. Lalu tibalah Depresi Besar di dekade 1930-an, seperti yang telah diramalkan akan menjadi nasib abadi kapitalisme. Datanglah John Maynard Keynes dengan teorinya yang meyatakan bahwa liberalisme bukanlah cara yang terbaik bagi pertumbuhan kapitalisme. Inti pendapatnya adalah bahwa full-employment (keadaan tanpa pengangguran) adalah hal yang perlu untuk pertumbuhan kapitalisme. Keadaan ini hanya akan dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral turut campur untuk menurunkan tingkat pengangguran. Ide ini amat mempengaruhi presiden Roosevelt, sehingga ia membuat program New Deal di tahun 1935 –program yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan banyak orang. Kepercayaan bahwa pemerintah harus memajukan kesejahteraan bersama diterima di mana-mana.
Tapi, krisis kapitalisme yang telah berlangsung 25 tahun terakhir ini telah membuat kaum kapitalis mengalami kemunduran dalam tingkat perolehan keuntungannya. Hal ini telah mendorong kaum kapitalis untuk menghidupkan kembali liberalisme ekonomi. Inilah yang menyebabkan timbulnya istilah “neo”-liberalisme, liberalisme baru. Dengan proses globalisasi kapitalisme, kita sekarang akan menyaksikan liberalisme kapitalis yang baru dalam skala yang mendunia.
Satu definisi yang mengesankan atas proses ini dibuat oleh Subcomandante Marcos dalam Encuentro Intercontinentale por la Humanidady contra el Neo-liberalisme (Pertemuan Antar-benua untuk Kemanusiaan dan perlawanan terhadap Neo-liberalisme) yang disponsori oleh Zapatista. Dalam pertemuan yang diadakan pada bulan Agustus 1996 di Chiapas, ia menyatakan,” Apa yang ditawarkan oleh Kaum Kanan adalah mengubah dunia menjadi satu mal yang besar di mana mereka dapat membeli Indian di sini, membeli wanita di sana…” dan ia menambahkan, “anak-anak, imigran, kaum buruh, bahkan sebuah negeri seperti Mexico.”
Pokok-pokok pikiran dari Neo Liberalisme meliputi:
Kekuasaan Pasar. Pembebasan perusahaan swasta dari ikatan-ikatan yang dibebankan pemerintah atau negara, tak peduli berapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar terhadap perdagangan dan penanaman modal internasional, seperti NAFTA. Pemotongan upah dengan pembatasan dan pembubaran serikat buruh, penghapusan hak-hak kaum buruh yang telah dimenangkan melalui perjuangan bertahun-tahun. Tidak ada lagi pengawasan terhadap harga. Kesimpulannya: kebebasan total bagi kapital, barang, dan jasa. Untuk meyakinkan kita bahwa hal ini baik bagi kita, mereka akan mengatakan:”Satu pasar bebas akan memacu pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya akan memberi keuntungan bagi semua pihak.” Dalam tingkat propaganda, ini disebut sebagai “supply-side”, “trickle-down effect” atau “memperbesar kue pembangunan.” Masalahnya, kue itu hanya terus membesar dan tidak dibagi-bagi.
Pemotongan terhadap pengeluaran publik dan tunjangan sosial. Pelayanan masyarakat seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan akan dipotong dananya. Demikian pula dengan dana bagi pemeliharaan jalan, jembatan, penyediaan air bersih, minyak, penyediaan bahan pokok. Semua pemotongan ini dilakukan atas nama penghapusan campur tangan negara. Namun demikian, kaum kapitalis tidak menolak jika negara memberi bantuan permodalan dan subsidi (semacam re-kapitalisasi) dan pemotongan pajak bagi diri mereka sendiri.
Deregulasi. Mengurangi peraturan-peraturan pemerintah yang dapat mengurangi tingkat pengerukan keuntungan kuam kapitalis. Termasuk di antaranya peraturan tentang lingkungan hidup, kesejahteraan buruh, keselamatan di tempat kerja.
Swastanisasi. Juallah perusahaan-perusahaan negara kepada para usahawan swasta. Ini termasuk bank, industri berat, perusahaan kereta api, perusahaan tol, perusahaan listrik, bahkan perusahaan air minum. Sekalipun sering dilakukan dengan alasan meningkatkan efisiensi, buntut-buntutnya adalah pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang. Lagipula, tidak akan ada lagi kontrol terhadap harga yang harus kita bayar bagi jasa publik itu.
Penghapusan konsep “kesejahteraan bersama.” Penggantian konsep itu dengan “tanggung jawab perorangan.” Menekan kaum miskin untuk mencari sendiri jalan keluar bagi problem kesehatan mereka, problem pendidikan dan kesejahteraan mereka. Semua harus dilakukan sendiri oleh kaum miskin –dan bila mereka gagal, itu kesalahan mereka sendiri karena mereka “malas.”

Di seluruh dunia, neo-liberalisme telah dipaksakan oleh berbagai macam lembaga keuangan yang kuat semacam IMF, Bank Dunia, atau Inter-American Development Bank. Neo-liberalisme telah menjarah-rayah seluruh Amerika Latin. Contoh kongkrit pertama yang menunjukkan tata-kerja dan hasil kerja Neo-Liberalisme datang dari Chile (dengan ucapan terimakasih pada ekonom dari University of Chicago, Milton Friedman) setelah kudeta terhadap pemerintahan Allende yang dilancarkan militer dengan dukungan CIA di tahun 1973. Negeri-negeri yang lain segera menyusul, dengan salah satu akibat paling buruk di Mexico. Tingkat upah turun 40-50% dalam tahun pertama diterapkannya NAFTA, sementara biaya hidup naik sampai 80%. Lebih dari 20.000 usaha kecil bangkrut dan lebih dari 1000 perusahaan negara telah dijual pada kaum kapitalis swasta. Seorang pengamat menyatakan,” Neoliberalise berarti neo-kolonialisasi Amerika Latin.”
Di Amerika Serikat, neoliberalisme telah menghancurkan program kesejahteraan sosial, menyerang hak-hak kaum buruh (termasuk buruh migran), dan memotong tunjangan-tunjangan sosial. “Kontrak” kaum Republikan atas Amerika adalah neo-liberalisme murni. Para pendukungnya tengah bekerja keras untuk menghilangkan keharusan untuk pelindungan terhadap anak-anak, kaum muda, kaum perempuan, dan palnet ini sendiri. Kita juga dibujuk untuk meyetujui semua itu dengan menyatakan slogan: ”Singkirkan campur-tangan pemerintah!” Mereka yang diuntungkan oleh neo-liberalisme adalah bagian yang sangat kecil dibandingkan dengan rakyat seluruh dunia. Untuk mayoritas rakyat dunia hanya tersedia penderitaan: penderitaan karena dihapuskannya sedikit hak yang telah direbut setelah perjuangan bertahun-tahun, penderitaan tanpa akhir